Pendahuluan
Tulisan ini kita awali dengan menyinggung sedikit tentang penyebab terjadinya perubahan social. Hal ini sekedar untuk melihat dimana posisi mahasiswa dalam proses perubahan tersebut. Kajian tentang sebab-sebab terjadinya perubahan sosial sangatlah banyak. Mungkin disini dapat kita sebut sebuah teori yang agak permanen dan sering muncul sebagai penyebab perubahan suatu masyarakat. Sebagaimana dikemukan Jalaluddin Rahmat, ada tiga sebab terjadinya perubahan social.
Pertama, masyarakat berubah karena
ideas (pandangan hidup, nilai-nilai). Dalam sejarah umat manusia, ide atau gagasan-gagasan sering menjadi “senjata” paling ampuh untuk merobah masyarakat. Ide dapat merobah pola pikir suatu bangsa. Kalau pola pikir suatu masyarakat sudah berubah, perubahan telah terjadi, meski pun baru pada tingkat pola pikir.
Kedua, adanya
great individuals (tokoh-tokoh besar, pahlawan, pejuang). Para tokoh tersebut melemparkan ide kepada masyarakat luas. Ketika ide tersebut dicerna dan dihayati dengan baik, terjadi persepsi yang sama terhadap suatu kondisi. Kemudian timbul kesadaran akan perlunya perubahan.
Ketiga, baru apa yang disebut dengan
social movement (gerakan social). Ide dan adanya tokoh tidak cukup untuk melakukan perubahan tanpa sebuah gerakan social. Reformasi yang terjadi di Indonesia tidak akan berhasil dengan mengandalkan Amien Rais dan gagasan-gagasannya saja, tetapi mesti disusul dengan gerakan social mahasiswa dan masyarakat. Sekarang di Myanmar dan Thailand sedang berlangsung gerakan-gerakan social menuntut perubahan. Meski pun belum berhasil sepenuhnya, yang jelas di sana ada
ideas, great individuals dan
social movement. Ketiga komponen tersebut di atas, telah merobah banyak negara di dunia, seperti Uni Soviet, China, Perancis, Jerman Timur, Negara-negara Amerika Latin, Afrika Selatan, Iran, Indonesia, Philipina dan lain-lain.
Bahkan hingga sekarang, ketiga komponen di atas masih menjadi penyebab utama terjadinya perubahan masyarakat di dunia.
Dalam hal ini, mahasiswa berada pada level pertama; ide atau gagasan dan kedua; social movement (sebuah gerakan social) yang selalu menuntut terjadinya perubahan masyarakat. Di samping mahasiswa ada LSM, yang juga sering melakukan social movement. Gerakan social yang dibangun mahasiswa dan LSM dapat ditampilkan dalam berbagai bentuk. Bisa dalam bentuk penerbitan media (Pers), advokasi, demontrasi dan lain-lain. Di Indonesia, gerakan social mahasiswa pasca reformasi hampir identik dengan demontrasi. Sangat kurang mahasiswa Indonesia sekarang yang melakukan perubahan dengan ide-ide cemerlang sebagaimana dilakukan mahasiswa sebelumnya. Sehingga sedikit sekali masyarakat berubah karena ide-ide para mahasiswa. Apalagi dalam lima tahun terakhir, mahasiswa sudah sering menampilkan gerakan kekerasan. Masyarakat yang dulunya menaruh simpati pada gerakan-gerakan mahasiswa, malah menjadi antipati. Sehingga terkesan mahasiswa sekarang mulai kehilangan jati diri akibat hilangnya paradigma berfikir. Hal ini perlu direnungkan oleh para mahasiswa sekarang, agar ke depan mahasiswa benar-benar menjadi agent of social change yang dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu, perubahan yang dilakukan mahasiswa ke depan harus lebih banyak melalui ide-ide atau gagasan-gagasan yang cemerlang guna merubah pola pikir masyarakat. Cara melakukan perubahan dengan gagasan tersebut yang paling efektif adalah melalui Pers Mahasiswa.
Keberadaan Pers Mahasiswa
Sejak awal kemerdekaan, Pers mahasiswa berperan sangat penting bagi tumbuhnya masyarakat Indonesia baru. Banyak tokoh nasional berasal dari tokoh pers mahasiswa, seperti Muhammad Hatta, Hos Cokroaminoto, Muhammad Rum, Muhammad Natsir, Sutan Takdir Ali Syahbana, Hamka, Ali Hasjimy, Chairil Anwar, Muktar Lubis, Rosihan Anwar dan lain-lain. Mereka-mereka itu adalah pelaku social movement menentang penjajahan Kolonial Belanda. Kemudian mereka muncul sebagai pembawa “Obor” pada masa otoriterianisme Orde Lama. Setelah “wafatnya” Orde Lama, muncul Soeharto dengan Orde Barunya. Ternyata kebebasan dan demokratisasi bukan semakin baik, malah tambah buruk, karena Orde Baru menamakan diri dengan Orde Stabilitas. Apa pun yang dapat mengganggu stabilitas akan menjadi musuh Orde Baru. Dalam era ini muncul tokoh-tokoh muda, seperti Nurcholish Madjid, Mar’i Muhammad, Rendra, Jacob Oetama, Soegeng Sarjadi, Hariman Siregar, Gunawan Muhammad, Amien Rais, Adi Sasono, Nono Anwar Makarim, Alex Rumondor, Dawam Rahardjo dan banyak nama-nama lain.
[3] Mereka-mereka itu, pada saat masih mahasiswa sangat aktif dalam dunia pers yang berawal dari pers mahasiswa. Diantara Pers mahasiswa yang dapat kita catat, seperti
Harian KAMI dan
Angkatan Baru, terbit di Jakarta,
Jurnal Mahasiswa Indonesia dan
Mimbar Demokrasi, terbit di Bandung, serta
Mimbar Indonesia. Semua media tersebut didirikan oleh para mahasiswa untuk mengontrol Pemerintah Orde Baru.
[4] Ide-ide yang disalurkan mahasiswa lewat media-media tersebut, telah mendorong tumbuhnya masyarakat Indonesia Baru yang sadar akan pentingya demokratisasi dan kebebasan. Padahal mereka berada dibawah tekanan rezim Orde Baru. Meski pun kini media-media tersebut hanya tinggal nama, namun gagasan-gagasannya tidak pernah mati.
Ada hal yang menarik ketika kita mengamati Pers Mahasiswa tempo doeloe dengan sekarang. Pertama, Pers Mahasiswa tempo doeloe, baik pada masa rezim Orde Lama mupun Orde Baru, semua berangkat dari kesadaran berbangsa dan bernegara dengan paradigma berfikir yang terukur. Masyarakat sangat mudah mengerti apa sebenarnya masalah yang sedang dihadapi masyarakat. Mahasiswa mampu membangun opini publik lewat Pers. Pikiran-pikiran mahasiswa dengan mudah dapat diikuti oleh masyarakat, karena semua mahasiswa memiliki persepsi yang sama terhadap masalah kebangsaan. Kedua, adanya kesatuan ide. Meski pun mereka berasal dari berbagai kelompok, suku dan agama, tetapi cara mempersepsikan masalah-masalah kebangsaan semuanya sama. Tidak membingungkan rakyat. Media-media mahasiswa yang terbit dalam era ini, semua mengarah kepada titik masalah yang sama. Ada masalah primer dan ada masalah sekunder dan ada masalah pelengkap saja. Jadi semua mereka rumuskan dengan jelas dan cerdas. Mereka memiliki target-target luas dan bersifat jangka panjang. Ketiga, ide-ide yang mereka lemparkan ke masyarakat tidak berhenti karena selesainya studi. Ide-ide tersebut mereka pertajam justru pada saat mereka berada di luar kampus. Keempat, tokoh-tokoh Pers Mahasiswa tempo doeloe memiliki basic intelektual yang kuat, sehingga mampu melakukan analisis terhadap berbagai masalah kebangsaan dengan tajam dan ilmiah. Masyarakat yang membaca pikiran-pikiran mahasiswa menyadari adanya ketimpangan. Kelima, kokohnya persatuan dan solidaritas mahasiswa. Jika satu kampus sudah bergerak, maka seluruhnya akan bergerak dengan mengusung slogan yang sama. Komunikasi terbangun sedemikian rupa, walau pun alat komunikasi tidak semudah sekarang. Keenam, tidak adanya egosentrisme atau kesombongan yang menganggap kelompok masing-masing lebih hebat. Egosentrisme dapat melupakan masalah yang sedang dihadapi dan diperjuangkan.
Keenam komponen di atas, hampir tidak dimiliki lagi oleh mahasiswa sekarang. Pers mahasiswa tidak memiliki visi dan orientasi yang jelas. Meski pun ada jumlahnya sangat sedikit. Sekarang mahasiswa lebih banyak menjadikan kampus seperti Balai Pelatihan Kerja yang apabila selesai kuliah nanti langsung dapat kerja. Mahasiswa banyak menghabiskan waktu bukan di pustaka, tetapi di warung-warung kopi dan kegiatan-kegiatan yang tidak ada hubungan dengan dunia mahasiswa. Di sini dapat kita sebut kegiatan-kegiatan yang tidak ada hubungan dengan dunia kemahasiswaan, misalnya, panjat tebing, mendaki gunung, kegiatan balapan dan berbagai kegiatan hura-hura lainnya. Sudah jarang kita lihat mahasiswa berdebat secara ilmiah dalam kelompok-kelompok diskusi. Sehingga terkesan adanya pergeseran orientasi kuliah dari penguatan intelektualitas kepada kegiatan yang bersifat fisik.
Pers Mahasiswa Sekarang
Pasca reformasi, kita belum melihat adanya Pers Mahasiswa yang mampu membangun opini publik, baik di tingkat nasional maupun lokal. Tapi kita harus mengakui bahwa usaha-usaha para mahasiswa kearah itu selalu ada. Tidak satu pun Pers mahasiswa yang terbit secara konsisten dengan visi yang konsisten pula. Kebanyakan Pers mahasiswa muncul secara insidental dan musiman. Tidak ada satu media pun yang membawa ide-ide mahasiswa sampai ke tingkat bawah.
Di Aceh, era 80-an dan awal 90-an ada Ar-Raniry Pos, Fosma Unsyiah, Ulul Albab (IMM), Fakta, Gebrak, Forum Dakwah (Senat F. Dakwah) dan banyak yang lainnya, semuanya terbitan mahasiswa. Organisasi-organisasi mahasiswa ekstra kampus hampir semua punya media. IMM, HMI, PMII, HIMMAH bahkan OKP-OKP banyak yang punya media sendiri. Kalau kita baca media-media tersebut, semua mengarah kepada masalah demokratisasi, keadilan hukum dan kesenjangan sosial di Indonesia. Opini dan nilai-nilai yang dibangun mahasiswa saat itu tergambar dengan jelas. Jadi semua ide-ide mahasiswa meski pun berbeda kelompok bertemu pada satu titik temu. Ada visi yang sama dalam gerakan mahasiswa saat itu. Inilah modal yang paling penting bagi perjuangan mahasiswa.
Lain halnya sekarang, mahasiswa kita tidak berada dalam satu falsafah berfikir. Apalagi banyak kelompok mahasiswa yang sudah terkooptasi dengan gerakan politik tertentu. Sehingga media yang mereka keluarkan pun, bukan lagi menyorot masalah-masalah kebangsaan secara luas, tetapi membela bahkan mensosialisasi ideologi politik dan Partai Politik. Sekarang ini, Partai Politik sudah masuk kampus melalui “jubah” mahasiswa tertentu. Inilah penyebab rusaknya ghirah perjuangan dan idealisme mahasiswa. Kalau kita bertanya, siapa musuh bersama mahasiswa sekarang? Apakah yang dianggap musuh oleh mahasiswa, dianggap musuh oleh masyarakat luas? Mampukah kita membangun opini, bahwa kita masih punya musuh bersama? Inilah fungsi Pers mahasiswa. Pers berfungsi memberi pencerahan terhadap berbagai masalah sosial, meluruskan kekeliruan berpikir dalam masyarakat. Mengungkapkan berbagai ketimpangan yang terjadi, agar masyarakat sadar akan perlunya perubahan. Misalnya, bagaimana masyarakat menyikapi penipuan-penipuan yang dilakukan para politisi. Hal ini dianalisis dengan baik demi keselamatan masyarakat dari “hantu” politik. Sekarang ini mahasiswa terkotak-kotak dalam berbagai falsafah berfikir yang sempit. Kadang-kadang menyoroti hal-hal yang tidak substantive. Misalnya, menyoroti masalah-masalah yang sempit dan tidak menjadi masalah umum dalam masyarakat. Sering mementingkan penampilan media dari pada isi media.
Proyeksi Ke Depan
Melihat realitas sekarang, maka ada beberapa hal yang perlu dirumuskan kembali oleh para aktivis Pers mahasiswa, yaitu:
- Pers mahasiswa ke depan harus dibangun di atas paradigma berfikir yang jelas. Rumuskan terlebih dahulu visi dan missi bersama Pers mahasiswa. Sehingga tergambar apa yang menjadi masalah bersama dan apa yang menjadi masalah kelompok. Kalau tidak berapa pun banyaknya Pers mahasiswa tidak akan efektif. Karena masing-masing berjalan sendiri-sendiri, tidak punya kesatuan gerak, kesatuan gagasan dan kesatuan tujuan.
- Menciptakan independensi. Pers mahasiswa harus bebas dari pengaruh kepentingan politik tertentu. Ini bukan berarti mahasiswa tidak boleh berpolitik. Akan tetapi Pers mahasiswa harus bebas dari politik. Orang-orang yang duduk dalam Dewan Pers Mahasiswa harus bersih dari politik praktis. Pers mahasiswa adalah pembela rakyat tertindas, baik tertindas secara politik, ekonomi, social, pendidikan dan teknologi. Siapa pun yang melakukan penindasan adalah musuh bersama mahasiswa.
- Tentukan sasaran pembaca media yang akan diterbitkan dengan jelas. Banyak media yang diterbitkan mahasiswa tidak jelas siapa yang menjadi sasaran pembacanya. Akibatnya missi dan pesan-pesan media tersebut tidak sampai kepada kelompok sasaran. Ingat kata pepatah, “jangan beri garam kepada orang yang tinggal pinggir pantai.”
- Tentukan bagaimana mekanisme pembiayaan. Lebih baik jangan tergantung pada salah satu lembaga, karena akan menghilangkan independensi. Mencari donatur boleh saja asal tidak mengikat. Uang memang penting, tetapi minat kita yang kuat adalah penentu kesuksesan.
- Bekerja dengan manajemen dan mekanisme Pers. Jangan bekerja dalam dunia Pers, tapi menggunakan mekanisme politik atau mekanisme mahasiswa. Misalnya, tidak mengindahkan Undang-Undang Pers, Kode Etik Wartawan, Bahasa Pers dan lain-lain. Setiap penerbitan yang menamakan diri Pers, harus mengikuti mekanisme Pers, siapa pun yang menerbitkannya. Indahkan segala aturan yang berlaku.
- Membangun jaringan dan aliansi yang kuat sesama Pers mahasiswa. Galang kekuatan bersama, jangan sampai antara satu dengan yang lain saling menyerang. Kalau perlu bentuk Aliansi Pers Mahasiswa Aceh. Hadapilah tantangan dengan penuh kedewasaan bukan dengan emosional. Jangan cepat menyerah pada keadaan. Karena bekerja dalam dunia Pers bukan seperti membuat pisang goreng, dalam waktu 2 menit dapat dimakan.
- Tumbuhkan tradisi intelektualitas, belajar dan belajar. Jangan pernah merasa cukup dalam ilmu dan wawasan. Bacalah buku-buku sejarah, sains, Ilmu politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Intelektualitas adalah sejata dalam menganalisa berbagai masalah yang ada. Jika membaca kurang, wawasan kurang. Sebuah masalah yang dianalisan oleh seorang wartawan yang wawasan, maka analisanya todak berbobot.
[1] Jalaluddin Rahmat, Rekayasa Sosial, Rosda Karya, Bandung, 1999, hal. 46-48. [2] Peter Calvert, Proses Suksesi Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995, hal. 29-44. [3] Sukardi Rinakit, (ed), Drama Politik Tanpa Skrip, Bandung, 1998, hal. xv.